Senin, 08 September 2014

Sekian

Melangkah 15 centimeter dari pagar rumah, setelah apa yang dipikirkan semalaman sambil berbaring. Debu tidak terlihat ketika tidak ada cahaya, apa yang dihisap, apa yang terlanjur menempel, dan apa yang telah mengalir di dalam darah. Keceriaan terakhir menandai akhir dari perjalanan, lalu diam merindukan perjalanan berikutnya. Ini sudah periode kesekian cerita tentang jalan buntu, buntu untuk sementara. Beberapa orang percaya bahwa takdir tidak  bisa berbelok arah, pilihan yang dipilih mengarah kepada jalan yang sudah ditentukan. Beberapa lainnya percaya dan mencari celah dari takdir itu sendiri, menelusuri sudut yang sejalan dengan apa yang dipertimbangkan. Sampai di titik seolah tersesat baru dibukalah jalan itu, jalan yang bercabang penuh dengan pilihan. Debu tidak terlihat ketika tidak ada cahaya. Debu penuntun itu seolah tidak ada, namun cahaya hanya sebentar saja menghilang, sebentar dia akan bersinar, perlahan perlahan hingga terik menyilaukan.
Pintu dibuka pintu tertutup, ini menyedihkan mengingat setiap langkah kaki membutuhkan biaya. Merindukan hal yang memang sudah disediakan untuk dinikmati dengan cuma-cuma sebagai sebuah kebutuhan. Bukan candu candu yang didapat dengan biaya biaya yang selalu berputar dan diperhitungkan. Pintu dibuka pintu ditutup dan memang bukan seperti itu dunia ini berjalan. Segalanya jadi mengarah kepada satu pencarian, mencari biaya untuk melangkahkan kaki. Bertahan adalah kondisi yang dipertaruhkan, hidup adalah keseharian yang diperhitungkan.
Sampai di titik ini cuma Bulan yang tidak pernah berubah, dia tetap menuntun malam menjaga gelap dengan kesederhanaan cahayanya, tidak terlalu terik namun menghangatkan.

Sekian,


4 September 2014 

1 komentar: