Minggu, 19 Juni 2011

Selamat Tinggal Awan

Persiapan meninggalkan batas sudah di depan mata. Kembali berpijak pada tanah sudah bukan lagi menjadi kemungkinan. Semua damai semua indah semu yang berputar di lingkaran yang sama. vacancies should be abandoned.

Tidak perlu ada selisih pendapat ketika membicarakan mengenai psikotropika. trip leaves the body toward the wall without mirrors. Generasi kecenderungan yang menetapkan posisi pada candu tawa candu warna dan euforia yang mirip rasa dengan cinta.

Generasi kecenderungan ada di titik ini. Kadang bersandar itu memang hal yang paling nikmat. Mengibaratkan dinding adalah pasir-pasir samudera Hindia, Molusca-molusca muda bertegur sapa menutupi luka. Ketika ketiak sudah lama tidak basah, bibir selalu renyah berhias gigi kering yang menguning, dan mata yang selalu merah berdiri di atas poros tercepat dunia.

Dunia dibagi menjadi adab dan abad. Tidak penting untuk dibicarakan. Dunia selalu luas ketika ada yang dititipkan pada ruang dan waktu yang sempit. Semacam pesan imajiner dimensi multikepala.

Sulit memang membicarakan mata yang sudah melewati tahap silinder. Bahkan secangkir gelas kopi yang dilewati pola geometri untuk layak disebut sebagai bangunan lima dimensi pun masih kurang begitu menarik.

Tidak perlu disebutkan ada berapa keajaiban dunia. Menara Pisa yang katanya sengaja dibuat miring ketika mulai lahir kejemuan simetris pandangan linear untuk persepsi yang hanya lurus satu arah.

Atensi publik hanya tertawa-tawa saja sama seperti generasi kecenderungan yang menertawai publik seolah tiada kata yang lebih indah dan lebih baik selain tertawa. Akhirnya saling yang paling wajar adalah saling menertawakan.

Dahulu kala aku dan kamu sama-sama telur, mungkin sepiring nasi ditambah jamur yang membuat semua ini menjadi ada. Manusia dibagi menjadi kita dan mereka. Kami dan kalian. Keduanya saling melucu dengan canda, cara, dan muatannya masing-masing. Batas waras dan tidak waras tidak bisa dipandang begitu saja dengan cara sadar atau tidak sadar.

Yang terbang dan yang menginjak Bumi. Anak-anak peradaban membagi dirinya sendiri. Amoeba, masa lalu yang paling nyata untuk pelajaran semudah ini. Dilihat dari sudut pandang yang paling tinggi, yang pernah tahu tinggi akan terbentur oleh suatu batas yang hampir mirip dengan surga namun agak sedikit terasa sakit rasanya. Dari atas, semua bisa disaksikan sambil tertawa bahkan sampai menangis, betapa ketidaksadaran menemui kesadaran baru dalam kecepatan nalar yang entah, hingga dunia yang berdiri di permukaan tanah terlihat begitu detil begitu lambat.

Kata mereka yang pandai berfilsafat, “kecepatan pikiran bisa menyamai bahkan melampaui kecepatan cahaya”. Mengadopsi perkataan itu, “Bagaimana bisa dinikmati semua gerak terburu-buru keseriusan dari sekumpulan aktor yang katanya hendak memperbaiki masa depan”, ketus generasi kecenderungan sambil tertawa-tawa di atas awan.

Yang terburu-buru terlihat begitu lambat dalam pandang generasi kecenderungan yang hanya diam. Pikiran merekam semua kejadian dalam kecepatan yang lupa batas. Hingga lupa bahwa tubuh sudah lama tidak diikutsertakan .

Ada semacam kekecewaan pada dunia, hingga apatisme tanpa berbuat apapun menjadi varietas candu yang sedikit banyak melahirkan ketergantungan karena keindahannya.

“Teman, saatnya kita pulang, kita turun dari awan karena sebentar lagi kita akan menjelma menjadi hujan.”

Euforia sudah menemui batasnya. Dunia yang kita anggap gila sama gilanya dengan kita yang hanya bisa tertawa. Tertawa menganggap diri ini yang paling sadar. Menemui sekeping uang logam di depan mata, teringat kisah lapar yang kadang dilupa-lupakan. Sepiring nasi yang menggerakan semua bahkan sempat kita tinggalkan.

Di titik lelah ini, bahkan untuk tertawa pun tidak memihak kepada siapapun dan apapun. Menjadi pencapaian candu yang harus ditinggalkan.

Wajah sudah lima dimensi di mata kaca. Hidup lebur dengan tidak waktu dan tidak ruang. Tidak luar dan tidak dalam. Tidak diam dan tidak gerak. Merasa kehilangan diri ketika takut untuk kembali. Bukan takut pada ketinggian, tapi kesebalikan dari itu. Lupa bagaimana cara untuk turun dan kembali menginjak tanah dunia.

X pangkat 0 sama dengan satu. Sendirian dan kesepian. Siapapun bahkan hewan sekalipun pasti akan sama jawabannya.

“Siapa yang paling Esa?”

Saatnya pulang ketika diri merasa sebagai Tuhan. Menemui titik rapuh sisi sepi diri sendiri. Sendiri. Sendiri. Sendiri. Tidak ditemui dan tidak menemui.

Senin, 06 Juni 2011

Balon Udara

balon udara itu masih kau simpan? Balon itu aku ambil dari masa depan, untuk menandakan warna kita di hari ini. aku sejujurnya takut, aku belum tahu warna hari ini. aku menghadirkanmu lalu lalang dalam ingatan dan pesan. kamu pusat orbitku

selalu saja waktu, sayang waktu tidak bisa kutemukan lipatannya. ini selalu menarik, karena aku selalu tidak tahu. aku mengamati beberapa pararel ketika waktu dua manusia bertemu dalam satu ruang yang sama: Aku dan Kamu. tidak ada dunia ketika, kamu menjadi duniaku dan aku menjadi duniamu. dunia menjadi satu melampaui dunia. itulah hebatnya kita, dan mereka belum tentu mengerti kita.

aku ingin menjemputmu, melintasi sungai, awan, dan daun-daun waktu. aku tidak ingin kecanduanmu seolah kamu adalah waktu dan waktu menjadi aku. aku kehilangan dirimu dan diriku sendiri. lalu selesai.

Balon udara itu masih kau simpan? Balon itu aku ambil dari masa depan, untuk menandakan warna kita di hari ini. aku sejujurnya takut, aku belum tahu warna hari ini. aku menghadirkanmu lalu lalang dalam ingatan dan pesan. kita menjadi orbit untuk kita.

6 Juni 2011
:for my love