Melangkah 15 centimeter dari
pagar rumah, setelah apa yang dipikirkan semalaman sambil berbaring. Debu tidak
terlihat ketika tidak ada cahaya, apa yang dihisap, apa yang terlanjur
menempel, dan apa yang telah mengalir di dalam darah. Keceriaan terakhir
menandai akhir dari perjalanan, lalu diam merindukan perjalanan berikutnya. Ini
sudah periode kesekian cerita tentang jalan buntu, buntu untuk sementara.
Beberapa orang percaya bahwa takdir tidak
bisa berbelok arah, pilihan yang dipilih mengarah kepada jalan yang
sudah ditentukan. Beberapa lainnya percaya dan mencari celah dari takdir itu
sendiri, menelusuri sudut yang sejalan dengan apa yang dipertimbangkan. Sampai
di titik seolah tersesat baru dibukalah jalan itu, jalan yang bercabang penuh
dengan pilihan. Debu tidak terlihat ketika tidak ada cahaya. Debu penuntun itu
seolah tidak ada, namun cahaya hanya sebentar saja menghilang, sebentar dia
akan bersinar, perlahan perlahan hingga terik menyilaukan.
Pintu dibuka pintu tertutup,
ini menyedihkan mengingat setiap langkah kaki membutuhkan biaya. Merindukan hal
yang memang sudah disediakan untuk dinikmati dengan cuma-cuma sebagai sebuah
kebutuhan. Bukan candu candu yang didapat dengan biaya biaya yang selalu
berputar dan diperhitungkan. Pintu dibuka pintu ditutup dan memang bukan
seperti itu dunia ini berjalan. Segalanya jadi mengarah kepada satu pencarian,
mencari biaya untuk melangkahkan kaki. Bertahan adalah kondisi yang
dipertaruhkan, hidup adalah keseharian yang diperhitungkan.
Sampai di titik ini cuma Bulan
yang tidak pernah berubah, dia tetap menuntun malam menjaga gelap dengan
kesederhanaan cahayanya, tidak terlalu terik namun menghangatkan.
Sekian,
4 September 2014