Jagakarsa
1620
1620 Pantai Batavia
sedang teduh-teduhnya, kertas-kertas bekas cerita di tahun-tahun sebelumnya sudah
berterbangan menuju laut Cina Selatan melalui Laut Jawa. Sesekali bayi-bayi
kepiting bermain di sekitar batu, berkejar-kejaran miring membuat bekas pada
pasir. Hujan baru saja selesai dua hari yang lalu, pasir setengah basah
setengah kering, embun sisa rintik terakhir masih berbekas di ujung Nyiur.
Wangi tawa anak-anak kecil masih berbekas bersama suara hangat Matahari. Perahu
kayu bersandar rantai masih diam membisu, debur ombak begitu tenang berkicau
bersama burung-burung selatan yang menuju ke utara.
Muara Angke, nama yang
indah pantai pertama nelayan-nelayan menurunkan ombak menuju daratan. Bersama
berkilo-kilo ikan hasil tangkapan. Coklat eksotis kulit mereka, berlapis
keringat dan asinnya lautan. Ketika itu 06.30 pagi, seperti sebuah ramalan untuk
masa yang akan datang. Hujan baru saja selesai dua hari yang lalu, pasir
setengah basah setengah kering, embun sisa rintik terakhir masih berbekas di
ujung Nyiur.
Seorang tua yang
pertama kali bangun, membuka pintu rumah kayunya menuju kursi kayu yang tepat
menghadap Laut Jawa. Laut masih surut mungkin setengah jam lagi akan berbeda
ceritanya. Ikan tidak pernah tidur, tapi ikan juga tidak bisa berbicara,
seandainyapun ikan bisa bicara, pak tua tidak mungkin terjun menembus tenangnya
lautan untuk berbagi cerita kepada sang ikan.
“Duduk tenang, aku akan
menceritakan sesuatu kepadamu, tentang beberapa tempat di Selatan sana, jauh di
Selatan sana”, pak tua mulai menceritakan sesuatu kepada lautan. Tenang dan
begitu pelan.
“Jagakarsa, dia
bernama, seperti nama seorang Ksatria, dia hijau rimbun dengan tanahnya yang
merah kecoklatan. Setiap sore di tempat ini, anak kecil tidak pernah absen
bermain di sisi kali, kadang mereka memancing dengan bambu seadanya. Tidak ada
perahu kayu di Jagakarsa, tidak juga pasir dan Daun Nyiur, Jagakarsa dikenal
dengan Surganya Buah, bisa jadi Khuldi pun tumbuh di sana di samping pohon
Rambutan Botak yang dikenal sangat manis. Cerita ini seharusnya tidak pernah
diceritakan. Aku mohon kepada siapapun dari kalian yang tidak sengaja mendengarkan
cerita ini, termasuk kamu Nyiur, kamu Pasir, kamu Kepiting, mohon
merahasiakannya.
Jagakarsa
2012
Hari ini, 21 Juli 2012,
tepat 3 jam lagi Jakarta kembali dipertemukan oleh Bulan Ramadhan, Ramadhan
kita tidak bisa sama, Ramadhanku, Ramadhanmu, Ramadhan kalian, dan Ramdhan
mereka. Dikembalikan kembali kepada diri masyarakat sebagai manusia. Ramadhan
seorang manusia.
Manusia itu apa? Kalau
seandainya manusia itu kipas angin, dia akan terus pusing karena terus berputar
di tempat, namun dia memiliki peran memberi sedikit sejuk pada malam yang panas
dan penuh dengan nyamuk. Kalau seandainya manusia itu layar kaca, dia akan
terus berselanjar di dataran yang datar, menertawakan, menonton, dan
menyaksikan dirinya sendiri di dalam layar kaca. Bila disentuh dia adalah kaca
bila diperhatikan dia adalah layar yang selalu berlayar setiap harinya.
Hari ini 1 Ramadhan
dalam penanggalan Islam, Islam yang menjadi agama mayoritas manusia Indonesia,
dan juga Islam yang paling sering didengar di atmosfer Jakarta. Tidak mengerti
mengapa selalu ada yang berkorban dan sengaja dikorbankan demi suatu kelancaran
dan kestabilan. Tidak mengerti kenapa harus ada sedikit kerusuhan demi
kestabilan dan ketenangan. Tidak perlu memakai sudut pandang kamera, karena
visual saat ini sudah semakin buram. Penuh dengan warna, setidaknya satu itu
yang masih bisa dikatakan. Ada berapa etnis di kota ini, sebut saja berbagai
etnis tersebut memainkan satu perannya masing-masing, perihal saling melengkapi
atau saling meruntuhkan itu masalah lain.
Prototipe belum tentu
Fotografi, tidak semua karakteristik bisa disajikan melalui foto, berbeda
dengan citra karakteristik bisa dijadikan objek untuk citra namun citra belum
tentu bisa menjelaskan karateristik. Banyak yang ditampilkan sekaligus
disembunyikan dalam satu tindak yang bernama pencitraan.
Jubah ibukota, pakaian
pergaulan, seni menyamarkan diri, seni lukis kepribadian, iklan jatidiri,
tangan kanan teknologi, warna yang sengaja dihadirkan, costum seorang aktor,
dan masih banyak lagi istilah-istilah lain untuk mengganti kata Citra.
Jakarta perlu banyak
ahli kejiwaan dari pada satu Gubernur wajahnya yang memenuhi tembok dengan
stiker-stiker tidak berguna. Gubernur Fotografis yang photogenic. Televisi menjadi berhala mutlak yang memberitakan
tentang kota ini ke kota-kota lainnya seluruh Indonesia. Seolah sengaja membuat
Ibukota menjadi pelaku dari semua kejahatan di Indonesia, menjadi pusat segala
permainan di Indonesia. Mungkin memang harus ada yang dikorbankan untuk satu
kebahagiaan. Semua mata tertuju menonton Jakarta menjadi panggung utama
sandiwara di Indonesia.
Kebetulan beberapa hari
lalu, pemilihan Gubernur sedang ramai di kota ini, calonnya ada yang berkumis
dan senang berjoget dangdut di panggung, ada pula yang berlindung pada kemeja
kotak-kotak menjual kesederhanaan dan senyum bersahaja.
Sampai hari ini mereka
berdua akan berlomba memainkan citra, layar kaca, dan kamera untuk meraih
banyak suara yang berteriak-teriak menyambut pahlawan baru untuk satu slogan
yang bernama Antikemiskinan!
bersambung