Rabu, 25 Juli 2012

Dongeng dan Sandiwara tentang Batavia


Jagakarsa 1620
1620 Pantai Batavia sedang teduh-teduhnya, kertas-kertas bekas cerita di tahun-tahun sebelumnya sudah berterbangan menuju laut Cina Selatan melalui Laut Jawa. Sesekali bayi-bayi kepiting bermain di sekitar batu, berkejar-kejaran miring membuat bekas pada pasir. Hujan baru saja selesai dua hari yang lalu, pasir setengah basah setengah kering, embun sisa rintik terakhir masih berbekas di ujung Nyiur. Wangi tawa anak-anak kecil masih berbekas bersama suara hangat Matahari. Perahu kayu bersandar rantai masih diam membisu, debur ombak begitu tenang berkicau bersama burung-burung selatan yang menuju ke utara.
Muara Angke, nama yang indah pantai pertama nelayan-nelayan menurunkan ombak menuju daratan. Bersama berkilo-kilo ikan hasil tangkapan. Coklat eksotis kulit mereka, berlapis keringat dan asinnya lautan. Ketika itu 06.30 pagi, seperti sebuah ramalan untuk masa yang akan datang. Hujan baru saja selesai dua hari yang lalu, pasir setengah basah setengah kering, embun sisa rintik terakhir masih berbekas di ujung Nyiur.
Seorang tua yang pertama kali bangun, membuka pintu rumah kayunya menuju kursi kayu yang tepat menghadap Laut Jawa. Laut masih surut mungkin setengah jam lagi akan berbeda ceritanya. Ikan tidak pernah tidur, tapi ikan juga tidak bisa berbicara, seandainyapun ikan bisa bicara, pak tua tidak mungkin terjun menembus tenangnya lautan untuk berbagi cerita kepada sang ikan.
“Duduk tenang, aku akan menceritakan sesuatu kepadamu, tentang beberapa tempat di Selatan sana, jauh di Selatan sana”, pak tua mulai menceritakan sesuatu kepada lautan. Tenang dan begitu pelan.
“Jagakarsa, dia bernama, seperti nama seorang Ksatria, dia hijau rimbun dengan tanahnya yang merah kecoklatan. Setiap sore di tempat ini, anak kecil tidak pernah absen bermain di sisi kali, kadang mereka memancing dengan bambu seadanya. Tidak ada perahu kayu di Jagakarsa, tidak juga pasir dan Daun Nyiur, Jagakarsa dikenal dengan Surganya Buah, bisa jadi Khuldi pun tumbuh di sana di samping pohon Rambutan Botak yang dikenal sangat manis. Cerita ini seharusnya tidak pernah diceritakan. Aku mohon kepada siapapun dari kalian yang tidak sengaja mendengarkan cerita ini, termasuk kamu Nyiur, kamu Pasir, kamu Kepiting, mohon merahasiakannya.


Jagakarsa 2012
Hari ini, 21 Juli 2012, tepat 3 jam lagi Jakarta kembali dipertemukan oleh Bulan Ramadhan, Ramadhan kita tidak bisa sama, Ramadhanku, Ramadhanmu, Ramadhan kalian, dan Ramdhan mereka. Dikembalikan kembali kepada diri masyarakat sebagai manusia. Ramadhan seorang manusia.
Manusia itu apa? Kalau seandainya manusia itu kipas angin, dia akan terus pusing karena terus berputar di tempat, namun dia memiliki peran memberi sedikit sejuk pada malam yang panas dan penuh dengan nyamuk. Kalau seandainya manusia itu layar kaca, dia akan terus berselanjar di dataran yang datar, menertawakan, menonton, dan menyaksikan dirinya sendiri di dalam layar kaca. Bila disentuh dia adalah kaca bila diperhatikan dia adalah layar yang selalu berlayar setiap harinya.
Hari ini 1 Ramadhan dalam penanggalan Islam, Islam yang menjadi agama mayoritas manusia Indonesia, dan juga Islam yang paling sering didengar di atmosfer Jakarta. Tidak mengerti mengapa selalu ada yang berkorban dan sengaja dikorbankan demi suatu kelancaran dan kestabilan. Tidak mengerti kenapa harus ada sedikit kerusuhan demi kestabilan dan ketenangan. Tidak perlu memakai sudut pandang kamera, karena visual saat ini sudah semakin buram. Penuh dengan warna, setidaknya satu itu yang masih bisa dikatakan. Ada berapa etnis di kota ini, sebut saja berbagai etnis tersebut memainkan satu perannya masing-masing, perihal saling melengkapi atau saling meruntuhkan itu masalah lain.
Prototipe belum tentu Fotografi, tidak semua karakteristik bisa disajikan melalui foto, berbeda dengan citra karakteristik bisa dijadikan objek untuk citra namun citra belum tentu bisa menjelaskan karateristik. Banyak yang ditampilkan sekaligus disembunyikan dalam satu tindak yang bernama pencitraan.
Jubah ibukota, pakaian pergaulan, seni menyamarkan diri, seni lukis kepribadian, iklan jatidiri, tangan kanan teknologi, warna yang sengaja dihadirkan, costum seorang aktor, dan masih banyak lagi istilah-istilah lain untuk mengganti kata Citra.
Jakarta perlu banyak ahli kejiwaan dari pada satu Gubernur wajahnya yang memenuhi tembok dengan stiker-stiker tidak berguna. Gubernur Fotografis yang photogenic. Televisi menjadi berhala mutlak yang memberitakan tentang kota ini ke kota-kota lainnya seluruh Indonesia. Seolah sengaja membuat Ibukota menjadi pelaku dari semua kejahatan di Indonesia, menjadi pusat segala permainan di Indonesia. Mungkin memang harus ada yang dikorbankan untuk satu kebahagiaan. Semua mata tertuju menonton Jakarta menjadi panggung utama sandiwara di Indonesia.
Kebetulan beberapa hari lalu, pemilihan Gubernur sedang ramai di kota ini, calonnya ada yang berkumis dan senang berjoget dangdut di panggung, ada pula yang berlindung pada kemeja kotak-kotak menjual kesederhanaan dan senyum bersahaja.
Sampai hari ini mereka berdua akan berlomba memainkan citra, layar kaca, dan kamera untuk meraih banyak suara yang berteriak-teriak menyambut pahlawan baru untuk satu slogan yang bernama Antikemiskinan!
bersambung