Selasa, 29 Juni 2010

Aku Tidak Waktu

ku tahu diri ini pernah berpindah melintas batas indera

aku menemui kecepatanku sama dengan cahaya

semua perlahan melambat lalu diam takbergerak

itu aku dengan cahaya

hampir secepat cahaya

tidak ada yang merekam diri selain Tuhan

takjuga diri sendiri yang selalu menganggap diri sangatlah pintar dan cepat

cekatan menerka putaran waktu namun bumi hanya tersenyum ramah

tidak juga bumi menertawaiku

kesombongan telah berakhir

saat aku semakin merasa sangat cepat.

semua yang diam perlahan mundur, melewati 0 waktu

aku bukan seolah, namun aku bisa melihat kembali masa lalu yang tolol

masa lalu yang hebat, masa lalu diri sendiri.

aku tetap di sini di hari ini aku berbicara.

entah media apa yang berpergian berkenala menonton diri sendiri.

waktu melewati batas 0 bukan sama dengan mundur, hanya seolah mundur. karena sebenarnya aku yang melaju terlalu cepat.

peradaban diri tidak pernah tepat dan diam, aku kadang begitu cepat hingga membuat mereka diam bahkan mundur, aku kadang sangat lambat, hingga mereka diam bahkan melaju melewatiku berkali-kali..

aku tidak waktu karena waktu tidak nyata.

Akhir Juni 2010

Sabtu, 26 Juni 2010

Di Bangku Kayu

Duduk berdua denganMu
di bangku kayu
Di tepi pantai yang sayu

Aku memakai kacamata hitam
saat bulan sudah lama tenggelam

malam belum usai

Kamu hanya terdiam
Kita duduk berdua ketika bayangan hitam berjalan di hidung ombak yang beriak

Kelam

Kamu masih terdiam,
ketika sudah sepuluh perahu berpulang

Pagi pelan menjelang, lalu aku pulang

10 April 2010

malam di tahun 2017

Hari ini, minggu 2 Oktober 2017. Aku terbangun bukan karena cahaya Matahari. Tepat pukul 7. Mengucek sejenak mata berkedip, lalu mengambil handuk untuk mandi. Siapa tahu selepas mandi ada Matahari. Tanpa sabun dan pencuci rambut karena sudah lumayan lama lenyap dari muka bumi. Kulihat kecoak betina menggapai kloset. Semakin banyak kecoak semenjak 5 tahun terakhir, karena sabun memang sudah lama lenyap. Takbutuh kecoak betina akan wangi. Aku selesai mandi. Kubuatkan teh untuk diriku. Merindu kerongkonganku akan hangat dan manisnya the. Sudah segar dan sudah hangat, kuberpakaian lalu diam.

Hari tetap gelap, semenjak 5 tahun yang lalu. Waktu berlalu hanya aku dan lilin cantik berlipstikan merah. Gincumu tebal sayang. Waktu berlalu dalam menung. Jam menunjukan pukul 1 hari tetap gelap dan basah. Kuberdoa dalam diam, termenung bersama lilin bergincu merah. “Tuhan, kapan terang melalui kulitku yang lembab karena dingin. Lalu…

Pukul 5 mencolekku dengan matanya yang tetap gelap. Aku kembali diam. Dengan lamunan handal mengendarai cicak, lalu berpetualang di dunia dinding. Lamunan panjang membawa….

Pukul 6 pada kesadaranku. Pukul enam datang tanpa senja, hanya suara adzan yang pelan merintih di kerongkongan. Suara anjing yang semakin banyak, karena bangkai manusia setiap hari ada saja yang mati tanpa punya lahan untuk dikubur. Bangkai manusia mati akibat bunuh diri. Bunuh diri akibat sakit kejiwaan. Sakit ketakutan. Sakit kebosanan. Sakit yang menyakitkan. Pukul 6 berlalu sangat cepat hingga…

Pukul 9 saatnya menyalakan televisi, yang terakhir diproduksi pada tahun 2010. televisi keluaran terakhir di muka bumi. Acara hanya menyajikan kematian, kekeringan, dan kematian. Hanya menyajikan pembunuhan, mayat, dan bunuh diri. Laporan langsung dari tempat pembakaran mayat sementara. Menakutkan lalu kumatikan.

Pukul 11 masih sama gelap tanpa cahaya, sudah 10 lilin bergicu merah kunyalakan lalu habis, kunyalakan lalu mati karena habis. Kelalawar terbang rendah berlalu dengan tarian lambaian tangan yang lelah karena waktu. Aku hanya berbicara pada cicak dan dindingnya yang tanpa tapak. Sendiri. Berdua bila lilin bisa kuajak bicara.

Waktu sudah mati 5 tahun yang lalu, kini sudah pukul 1 lagi, dan langit masih gelap. Matahari masih marah. Waktu semuanya hitam. Waktu semuanya hitam.
Kapanku waktuku bersama denganmu Matahari?

Manusia Terakhir

Di depanmu hanya ada pasir hitam. Di belakangmu sudah hilang semua peradaban manusia. Sekarang kamu sedang bingung, kamu tidak tahu lagi apa yang harus kamu lakukan. Di atasmu sudah tidak ada cahaya. Di bawahmu tanah taklagi basah. Kamu sudah menanti hujan sejak lama. Cahaya sudah lama tidak ada. Kamu sudah tidak bisa menemukan gelas, lemari, televisi, telepon genggam, computer bahkan kloset untuk buang air. Air pun hanya kamu nikmati dengan cara mengumpulkan ludah untuk ditelan. Semua air di dunia sudah hilang. Api menghilangkan semua, dirinya hadir dari benturan-benturan energi. Api tetap ada, hanya bila kamu menggesekan dua kayu kering berkali-kali, api akan lahir dari sebuah gesekan. Yang tidak terlihat justru tetap ada, dia masih setia memberimu nafas bagi nyawamu. Kamu masih hidup juga karena dia masih ada. Paru-parumu bekerja karena dia. 21 gram nyawamu tetap menempel karena dia masih setia memberimu nafas.
Ini adalah udara terakhir, sebelum kamu juga mati menyusul semua.

Kamu tidak bisa melakukan apa-apa, semuanya sudah musnah. Kamu tidak melihat siapa-siapa. Mereka sudah mati bersama semua yang ada. Kamu menangispun tidak ada yang mendengar. Mungkin suara tangismu adalah suara terakhir yang pernah terdengar. Pandang matamu hitam. Karena sumber cahaya sudah enggan memberi penerang. Matamu takberfungsi Cahayamu adalah tidak ada cahaya. Kamu disisakan untuk dijadikan pasangan dari ‘pertama’. Kamu mungkin pernah mendengar dongeng tentang manusia pertama di Bumi ini? Dongeng itu amat istimewa, bagi manusia. Ketika itu dunia sendiri tanpa manusia. Sampai pada akhirnya, manusia turun untuk menemani dunia. Kamu kini menjadi pelengkap cerita itu. Kamu menjadi manusia yang terkahir dan dunia meninggalkanmu dengan kesendirian. Maaf sekali lagi kuulangi, siapa namamu. Kau akan melengkapi kisah manusia. Adam menjadi yang pertama lahir sedangkan kau menjadi yang terakhir mati. Siapa namamu?

Post Cahaya (Hikayat tentang Cinta yang Paling Tulus)

Secara mitologi, mungkin hanya bangsa setelah, generasi setelah, setelah peradaban ini yang mampu menceritakan kembali dongeng tentangnya. Generasi yang saat ini umurnya masih berusia anak sekolah dasar yang duduk di bangku kelas enam. Generasi yang sudah ditiupkan kecerdasan lain berupa software di otak semenjak mereka masih di dalam kandungan oleh tangan Tuhan. Generasi yang sudah dipersiapkan menjaga Bumi, menggantikan generasi hari ini.

Mitos, yang saat ini belum bisa dikatakan sebagai sebuah bahan wicara publik. Tentangnya, ini adalah mengenai suatu eksistensi sebuah energi asing yang belum bisa dikatakan sebuah benda dan tidak juga bisa dikatakan bukan sebuah benda.

Asing namun 'ia' ada semenjak Bumi ini memiliki gravitasi, memiliki awan, memiliki lautan, pegunungan dan ikut mengorbit Matahari bersama Venus, Jupiter, Mars, dan kawan-kawan dalam satu lintasan Matahari kita. Berapakah usia Bumi, tidak jauh berbeda dengan berapakah usia 'benda' asing ini. Ia 'ada' namun ia tidak 'ada'.

Berputar dalam orbit yang entah. Namun bukan orbit di luar Bumi, seperti Bulan yang selalu setia menerima menemani Bumi hingga akhir hayat Semesta. Mengorbit disekitar kehidupan manusia. artinya, mengorbit di dalam tubuh dan atmosfer Bumi kita.

Tidak ‘ada’ belum tentu karena tidak ‘ada’ cahaya atau gelap. tidak ada belum tentu berbatas ukuran besar atau kecil. Siapa yang pernah menghitung kecepatan cahaya. Selama ada suatu benda yang masih belum melampaui kecepatan cahaya, benda tersebut masih dapat ditangkap oleh mata dan mata kamera buatan manusia.

Benda asing ini tidak menempel dalam gelap. bahkan ‘dia’ sudah lama melampaui kecepatan minim cahaya dari suatu kegelapan yang paling mutlak. Takmampu tertangkap mata manusia dan takmampu ditangkap kecepatan mata kamera. Belum dapat dicapai oleh intelektual manusia, setidaknya untuk hari ini. Belum ada manusia yang mampu memahaminya.
Benda ini melampaui kecepatan cahaya yang pernah dipahami dan dipelajari oleh pengetahuan manusia di hari ini dan di masa lalu. lebih cepat dari cahaya. Sehingga mata takmampu menangkap energi akselerasi benda ini. Sehingga belum ada teknologi manusia yang mampu menangkap pergerakan dan mobilitas benda ini. Setidaknya sampai hari ini.

Pernah suatu ketika manusia mencoba menggambarkan benda ini dalam dunia yang Simulakra. Dalam upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan untuk saling mengingatkan sesamanya. Manusia menciptakan dunia simulasi dalam salah satu wujud yang paling luas persepsi dan imajinya.
Dunia ini adalah tempat tinggal paling nyaman bagi Son Goku, Shrek, Spongebob, Doraemon, dkk memainkan peran manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia akan dunia yang hanya ada dalam imajinasinya yang paling tinggi, paling dalam, paling jauh dan paling luas. Suatu dunia untuk menyampaikan ide-ide dan konsep-konsep kehidupan dengan imaji yang antirealitas kehidupan.

Suatu ketika dalam salah satu scene, mungkin kita sewaktu kecil pernah menyaksikan di balik layar kaca televisi bagaimana Frieza (salah satu musuh Son Goku) mengeluarkan sejenis cahaya atau gelombang laser dari jari kecilnya, dan benda kecil dan setipis air mata itu mampu membelah gunung menjadi dua bagian. Menakutkan sebuah penggambaran imajiner dari suatu energi yang belum mampu tergapai oleh manusia setidaknya dari masa lalu sampai generasi hari ini di dunia nyata.

Segala energi yang nampaknya tidak mungkin dalam dunia nyata hadir dengan cerianya, menari-menari di dunia kartun menemani generasi-generasi saat ini mengembangkan daya imajinya. Frieza tidak sendiri, bahkan hampir semua tokoh di dunia ini mampu mengeluarkan energi tersebut dari celah-celah telapak tangan mereka masing-masing.

Sudah takusah dibayangkan, bagi kenyataan bahwa satu kota bisa lenyap dalam sekali membalikkan telapak tangan. Satu gunung bisa terbelah dua hanya dalam sekali tunjuk. Laser dahsyat yang seolah-oleh hanya bereksitensi di dunia kartun tersebut suatu ketika niscaya akan dipelajari oleh manusia-manusia untuk dicari relevansinya.

Tidak, hal ini belum dapat dicapai pengetahuan dunia intelektual generasi sekarang ini, generasi kita. benda yang saat ini niscaya hanya keasingan yang hanya hidup di dunia kartun belum mampu dianggap 'ada' oleh generasi kita sekarang ini dinalar dunia nyata.

Keniscayaan itu belum tentu benar, bahwa ternyata dalam suatu mimpi aku dibawa oleh suatu imaji mengenai suatu benda yang mengorbit di sela-sela mobiltas aktivitas peradaban generasi manusia di hari ini. Benda asing tersebut secara bentuk hampir menyerupai laser yang keluar dari jemari Frieza, dia tipis setipis air mata, setipis tetesan air hujan.

Dapat ditalar dalam dunia mimpi, namun bagaimana bila benda tersebut selama ini ternyata 'ada' mengorbit dalam lalu lintas yang entah melewati aktivitas manusia-manusia dalam menjalani kenormalan hidupnya. Bisa dibayangkan bagaimana energi itu begitu sayang kepada manusia.

Hingga belum ada kejadian, seorang manusia mati secara tiba-tiba karena kepalanya terlewati oleh orbit benda asing sejenis laser yang kecepatannya melampaui kecepatan cahaya (yang pernah dipelajari manusia Bumi setidaknya hingga hari ini).

Menembus kulit wajahmu yang mulus dan putih, melewati sel-sel jaringan syaraf otakmu, menembus otakmu, dan kamu sama sekali tidak memiliki kemampuan inderawi untuk mengetahui keber'ada'an benda tersebut. Hanya orang lain di sampingmu yang sadar bahwa tiba-tiba kepalamu meledak karena suatu benda yang takterlihat dan tergapai oleh indera manusia.

Mematikanmu lebih cepat dari cahaya. satu perjuta detik rasa sakit melewati tulang tengkorak kepalamu, rasa sakit yang belum pernah kau ketahui sebelumnya selama hidupmu. Rasa sakit yang membuat Malaikat harus menarik nyawamu dalam kecepatan satu perjuta detik. Satu perjuta detik mungkin sangat cepat. Namun itulah saat tersakit dalam hidupmu, sakit yang membuat nyawamu meninggalkan jasadmu.

Cerita tentang benda laser ini di hari ini menjadi antimitologi. Eksistensi dan citra benda laser ini hampir sama dengan nol di dunia nyata. Pengecualiaan untuk dunia kartun. karena sangat tidak niscaya ada manusia yang membicarakan kehebatan laser tipis milik Frieza sebagai suatu bahan wicara publik orang-orang dewasa, atau membicarakan suatu laser milik Son Guko yang mampu menghancurkan kota dalam satu gerakan telapak tangan.

Bisa dibayangkan di stasiun kereta, di halte-halte bis kota, di cafe-cafe, di ruang tunggu rumah sakit, di dunia realita aktivitas manusia dewasa, mereka mewicarakan dan mendongengkan dunia kartun milik anak-anak.

Benda ini takterlihat bukan karena sangat lambat atau menempel dengan kegelapan. Benda asing ini terlalu cepat, hingga cahayapun harus kehilangan beberapa lapnya bila harus dianalogikan sebagai lomba dalam lintasan F1.

Hampir tidak ‘ada’ atau sangat sedikit sekali wicara yang dibangun oleh manusia mengenai eksistensi benda ini untuk saat ini. Wacana tidak memasyarakat sehingga mitos mengenai benda ini hanya beredar di dunia anak-anak SD, Tentu hal ini bukan menjadi wacana besar ilmu pengetahuan yang memasyarakat hingga harus ditindaklanjuti lebih jauh. setidaknya sampai hari ini, generasi ini.
Wacana mengenai benda ini, hanya 'ada' dalam dunia obrolan anak-anak SD itupun hanya ketika mereka menikmati duduk santainya sehabis menonton kartun. Apa anggapan orang dewasa mengenai wacana yang dibangun oleh khayalan-khalayan anak-anak kecil ini. Tentu bukanlah suatu yang harus diperhatikan dengan sangat.

"Hanya percakapan anak-anak kecil", mungkin hanya sebatas itu.
Lagipula percakapan itu bukan tentang dunia realita, tapi mengenai dunia kartun yang kecil kemungkinannya dinikmati mayoritas manusia dewasa.

Wacana masa depan menanti manusia-manusia generasi baru dapat menangkap, mampu menghitung kecepatan benda asing ini, mampu memahami konsep mengenai benda yang sudah ada semenjak Bumi ini ada. Hingga nantinya menemukan cara bagaimana keasingan itu menjadi lenyap karena indera mampu menangkap.
Dia masih mengorbit bersama aktivitas kita, bersama mobilitas aktivitas manusia di berbagai kondisi dan berbagai lingkup kehidupan manusia. Orbitnya tidak pernah melenceng satu milipun, kecepatannya konstan dan energi ini, hingga hari ini tidak melukai organisme, biota apapun termasuk manusia.

Dia hanya melintas dan mengorbit. Berikut serta dalam rantai kestabilan alam semesta. Dia tidak lelah menjadi yang tidak terlihat setidaknya sampai hari ini. Dia tidak lelah menjadi yang tercepat setidaknya dalam batasan pengetahuan manusia di Bumi. Dia belum mempunyai nama. Dia belum pernah dibicaran di dunia media. Dia mencintai kita semua. Atau mungkin dialah Cinta itu sendiri.

Dialah cinta itu sendiri.

Jakarta, 30 Mei 2010

Hingga Itu Kawan

Kalau matiku kawan saat ini masih percuma:
Bola hitam putih nan bulat bergelinding di tanah yang rumput
Biar gravitasi yang menjemput

Tanah pekuburan dunia bau manusia, bulat yang menggelindingkan hitam dan putih bukan perkara pandangan pada mata dan warna

Kita tentu masih ingat tentang langit yang jingga hingga tanah yang senja
Hingga takada lagi hingga ketika kita bersama lalu menjadi seolah mati ketika kita sendiri; hingga
menjadi petaka akhir: hingga kita mati bersama di ruang yang sen'diri'

Puluhan lukisan pelangi yang kita bentuk dari hitam yang tenang dan senang
Kita berenang bahkan berendam dalam lautan warna pelangi yang hitam, senyum tipis awan yang putih, mendung habis hujan yang gerimis, tawa sinis tangis yang manis

:takpeduli kita, takpeduli taksadar atau tiada kita menepis

Kita tenggelam bersama; merasa gelap bahkan ketika tertawa; merasa putih baru ketika menangis; sadar waktu bukanlah metafora

Hingga muntah waktuku oleh nasi yang kita masak bersama
Bukan karena sadar bahwa kenyang sesudah lapar adalah hal yang wajar: menjadi tidak mungkin sama sekali karena waktu tidak pernah lapar dan kita tidak pernah kenyang

Bukan pula karena nasi yang kita olah bersama hingga suapan pertama menjadi tawa dan tangis;
Bukan pula karena hujan bermimpi tentang kisah cinta si matahari; bukan pula cinta kereta kuda yang menghampiri pagi karena sepi; bukan pula imajinasi mati lebih mati daripada mati

Bukan
Bukan itu kawan
Saat ini yang kuingat hanya dua hal:
kita
melupakan Tuhan dan melupakan kata pertama ketika kita mulai bisa berbicara